Sumedang,Rabu 26 Oktober 2022 Oleh Helmi Fauzi Ridwan |
NYANTRI,NGAJI,NGABDI
Tiga kata selogan yang saya goreskan,mengandung sebuah makna yang luas dalam kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi santri di salah satu pondok pesantren yang ada di kabupaten Sumedang.
Pesantren yang berdiri di sebuah pedesaan,dikelilingi dengan pesawahan dan perkebunan juga pegunungan,Namanya Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah yang bertempat di Sukamantri Tanjungkerta Sumedang.
Berawal dari kata Nyantri,disana seorang Santri di haruskan Nyantri oleh gurunya selama di pesantren,seorang santri tentu mempunyai kewajiban.
Kewajiban tersebut meliputi segala aspek yang bersangkutan antara seorang santri ketika berada di pesantren.
Terutama datang nya ke sebuah pesantren tentu mempunyai tujuan utama yakni mencari ilmu,sebab sebagai ummat muslim kita mempunyai amanah sebuah perintah yang menjadi kewajiban sesuai hadits yang berbunyi : Tholabul Ilmi faridhotun 'alaa kulli muslimin wal muslimat (mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan)
Untuk mendapatkan ilmu,caranya tentu kita harus belajar dengan sungguh-sungguh bahkan menghabiskan waktu yang cukup lama.
KH. Mohamad Aliyudin,sesepuh pondok pesantren Al-Hikamussalafiyyah beliau berkata "mencari ilmu itu bagaikan menggali sumur" artinya seorang santri harus terus menggali,tekun dalam belajar dengan waktu yang cukup lama hingga mendapatkan cahaya dari ilmu itu sendiri.
Kata NYANTRI mempunyai keterkaitan dengan NGAJI,di pesantren kita bukan hanya belajar dan di didik tentang ilmu agama saja. Namun,semua ilmu yang ada di alam semesta kita belajar juga untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya kelak, ketika kita setelah keluar di pesantren.
Sebab,tidak semua santri akan menjadi kiyai,akan mempunyai pesantren dan santri setelah keluar di pesantren.
Dipesantren kita berkumpul dengan teman-teman yang ada di berbagai daerah,berbagai perbedaan kebiasaan,berbagai sifat,berbagai kondisi keadaan orangtua dll.
Hanya dipesantren kita akan merasa sama rata,tidak mengenal anak dia orang kaya,dia anak pejabat,dia anak aparat dll. Di pesantren kita sama rata,sama-sama seorang pejuang untuk mencari ilmu, sama-sama sarungan. Hingga tidak ada perbedaan sosial.
Kenapa harus seperti itu? Sebab dipesantren kita NYANTRI, maka seorang santri dalam menjalani kehidupan sehari-hari penuh dengan seni.
Ada yang rajin ngaji,ada yang sukanya tidur,ada kreatif membuat karya seni,ada yang sukanya berekonomi (berdagang),ada yang suka olahraga,ada yang suka menulis dll.
Itu tumbuh dengan sendirinya dalam diri seorang santri,dan semua ilmunya di dapatkan juga ketika mengaji,maka jangan heran ketika seorang santri ketika pulang berbeda-beda. Itu sudah sesuai dengan kebiasaannya ketika di pesantren.
Seorang santri bisa menjadi apa saja,tidak hanya menjadi seorang kiyai,Yang terpenting dirinya bisa bermanfaat bagi lingkungannya.
Nyantri,ngaji lalu Ngabdi
Ngabdi ala Pesantren Al-Hikamussalafiyyah ini sudah melekat di dalam diri para santri. Sebab seorang santri yang mentafakuri diri akan menyadari setelah ia mendapatkan kebahagiaan.
Entah ia masih diam di pesantren ataupun sudah menjadi alumni,banyak cara pengandian yang dilakukan santri dan alumni,minimal silaturahmi kepada guru-guru di pesantren.
Ngabdi disana bukan serta Merta harus Ngabdi di Pesantren Al-Hikamussalafiyyah. Tapi lebih ke pengabdian kepada masyarakat.
Ilmu yang di dapatkan selama di Pesantren bisa bermanfaat dan dimanfaatkan dalam kehidupan nyata. Yang terpenting bisa bermanfaat untuk orang lain yang ada disekitarnya.
Pengabdian ke masyarakat dengan mengamalkan ilmu yang di dapat di Pesantren sama halnya mengabdi ke pesantren itu sendiri.
Arti dari pengabdian seorang santri tiada lain hanya ingin mendapatkan Do'a dan ridho dari seorang guru supaya mendapatkan keberkahan dari ilmu itu sendiri.
Sebab,ada kita mempunyai tiga orangtua yang harus kita hormati
Pertama adalah orang tua yang melahirkan kita, hal tersebut menurutnya merupakan sebuah kewajiban kita selaku anak untuk menghormati mereka karena telah melahirkan kita ke alam dunia.
kedua yaitu orang tua yang mendidik kita. yang dimaksud dengan orang tua yang mendidik kita adalah guru. Guru yang telah mengenalkan dan mengarahkan kita agar kita bisa selamat di dunia sampai di akhirat.
Dalam sebuah hadits dikatakan "Ridhollohi fii ridholwalidain,wa sukhthullohi fii sukhthil walidain" (HR. Tirmidzi). Yang berarti "Ridhonya Allah tergantung kepada ridhonya kedua orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada murkanya kedua orangtua."
Ini yang menjadi landasan seorang santri hati nya selalu terbangun untuk terus mengabdikab diri.
Yang terakhir adalah orang tua yang menikahkan kita (mertua), karena sejatinya mereka merupakan orang tua dari anak yang menyayangi kita.
Tidak ada komentar:
Write $type={blogger}